Tanggal 23 Maret 2008 hari Minggu saya pergi ke Pekuburan Cina Cikadut. Sambil menenteng kamera sendirian. Tujuan saya adalah menelusuri kembali tempat main dahulu sewaktu saya masih sekolah di Sekolah Dasar (SD). Ini berarti menggali kenangan lebih dari 30 tahun yang lalu.
Saya menempuh SD dari tahun 1972 hingga 1977 di SD Negeri IV Cikadut di Kampung Jamaras tidak jauh dari Pekuburan Cina Cikadut. Sering apabila istirahat atau sepulang sekolah bermain di area pekuburan. Apa yang dilakukan? Bermain kucing-kucingan, ucing sumput, dar-daran, berenang di sumur atau perang kayu rapet. Yang paling menyenangkan bagi saya adalah perang kayu rapet (rapet adalah bahasa Sunda dalam bahasa Indonesia artinya lengket).
Pintu gerbang pekuburan ini berupa bangunan tinggi dan memanjang yang disebut los. Dulu apabila ada pemakaman mobil jenasah masuk ke dalam los dan berhenti di
Los dan pohon beringin yang sudah sangat tua
Suasana pekuburan ini tidaklah menyeramkan, meskipun usia saya waktu itu masih anak-anak. Kuburan-kuburan letaknya tidak teratur.
Macam-macam bong
Letak pekuburan ini berada di atas beberapa bukit dan lembah yang meliputi kelurahan dan desa di perbatasan antara Kota Bandung dan Kabupaten Bandung. Dari Alun-alun
Gunung Burangrang dan Gunung Tangkubanparahu
Kuburan-kuburan menghadap searah dengan aliran air. Jadi kuburan yang berada di atas suatu bukit bisa saja menghadap ke berbagai arah, sesuai kemiringan tanah. Pada waktu saya masih anak-anak Bong Koneng (bong warna kuning) sangat terkenal. Bentuk atapnya seperti payung kembar bersusun dua. Di
Memandang Kota Bandung dan Gunung Malabar
Masih sekira tahun 1970-an juga era keindahan Bong Koneng berakhir setelah raja tekstil
Bong Koneng dan Bong Okatex
Di barat daya pekuburan yang terletak di kampung Jamaras dulu ada sebidang tanah miring yang ditumbuhi rumput. Tanah ini sering dipakai bermain sepak bola, bentuknya tidak persegi panjang, karena ada pekarangan rumah dan kuburan yang menjorok ke lapangan. Lapang miring ini ditandai dengan kuburan yang disebut Bong Beureum (bong berwarna merah). Selain dipakai tempat sepak bola dipakai pula untuk “ngangon munding” (menggembala kerbau). Lapang Miring tidak jauh dari SD tempat saya belajar, sehingga saya pun sering main sepak bola di
Di areal pekuburan banyak ditanam pohon kayu rapet-penduduk di
Pada waktu istirahat sekolah seluruh teman laki-laki sekelas dibagi dua kelompok yang seimbang. Masing-masing kelompok punya seorang raja. Peperangan bisa dilakukan di antara dua bong yang berdekatan, namun bila terdesak bisa melarikan diri ke bong lain yang lebih aman. Pada suatu petang ketika waktu istirahat dan saya masih kelas 5 pernah melakukan perang besar melawan gabungan kelas 4 dan kelas 6. Kami berhasil mendesak mereka sampai jauh dari arena peperangan semula hingga perbatasan pekuburan bagian utara. Musuh semuanya menyerah minta ampun, kecuali rajanya ketua murid kelas 6 yang bernama Usep, anak kampung Cicabe. Ia memegang batu-bata duduk di atas pilar pagar kuburan seolah raja yang duduk di atas singgasana tapi sudah terpojok masih pula mencoba menantang, “Sok siah saha nu wani ka aing?” (Ayo siapa yang berani melawanku?)
Diputuskan perang berakhir dan kami harus kembali ke sekolah, karena sudah terlalu lama berperang. Rupanya kami sudah lama melewati waktu istirahat, maklum waktu itu tidak ada murid yang punya jam tangan. Ketika masuk ke kelas ruangan sunyi, kosong. Ternyata kepala sekolah mengumpulkan murid-murid di kelas lain yang lebih besar. Waduh!
Pada waktu istirahat sekolah, bila tidak main bola atau perang-perangan, kami pergi ke sumur yang berada di tengah komplek pekuburan. Sumur ini diberi pembatas tembok dengan ketinggian dari atas tanah 25 cm. Airnya selalu meluap. Karena mulut sumur cukup lebar bisa dipakai berenang sampai 5 orang anak kecil. Tentu saja
Arah kuburan mengikuti kemiringan tanah (kiri). Dulu di sini ada mata air dan dibuat sumur (kanan)
Tahun 1980-an saya kembali ke
Beberapa anak sedang memancing. Air mengalir dari mata air baru?
Apabila sedang libur panjang, misalnya setelah kenaikan kelas, permainan berganti. Perang buah kayu rapet berhenti karena teman bermain berganti pula dengan tetangga di kampung Jamaras. Liburan diisi dengan main “rorodaan” yaitu naik kereta papan yang menggunakan roda pelor besi (laher). Papan ini bisa dinaiki sendiri atau tandem berdua. Untuk mengendalikan arah digunakan seutas tali yang diikatkan pada as roda depan. Agar kereta dapat meluncur maka permainan harus di jalanan yang menurun. Di jalan beraspal berbahaya, karena terlalu curam dan sewaktu-waktu ada kendaraan bermotor. Jalur favorit adalah jalan tembok putih dari kuburan Toko Medan hingga jalan aspal dekat kuburan
Bong Toko Medan (kiri) dan jalur kereta luncur (kanan)
Suara laher dari kereta cukup berisik ketika meluncur. Apabila pengawas kuburan mengetahui, kami dilarang main kereta luncur di
Musim adu jangkrik juga mengasyikkan. Di kuburan Cina sangat berlimpah. Yang dicari adalah jangkrik kalung untuk aduan. Jika yang ditemukan jangkrik kasir, ini juga lumayan untuk makanan ayam jago di rumah. Jangkrik bersarang di tanah terutama yang berumput dan tanahnya tidak terlalu padat. Oleh karena itu sering harus mengorek gundukan kuburan untuk memperoleh jangkrik.
Tahun 1980-an akhir saya sering lari pagi di jalan utama beraspal Pekuburan Cina Cikadut ini. Lalu lintas kendaraan bisa dikatakan nihil.
Krematorium didirikan tahun 1967 (kiri). Kota Bandung arah barat daya dari Kuburan Cikadut (kanan)
Pulangnya jalan santai, apalagi jalanan menurun, kalau berlari bisa nyungsep atau “ti totolonjong” (terus berlari dan sulit untuk berhenti) bisa-bisa nabrak pagar kuburan. Suasana pagi sudah terang dan dari atas bukit kita dapat melihat
Area Pekuburan Cina ini sangat luas entah berapa hektar. Banyak yang menduga komplek pekuburan ini yang terluas di
Dalam perjalanan terakhir ke pekuburan Cina Cikadut saya menemukan batu nisan bertuliskan tahun meninggal 1947. Diperkirakan daerah ini mulai dipakai sebagai pemakaman jauh sebelum Indonesia Merdeka. Almarhum kakek saya mengatakan ketika bekerja di
Mungkin untuk menghindari hal-hal yang negatif secara resmi pekuburan ini dinamakan Pekuburan Hindu-Budha seperti yang tertera di plang depan kantor administratur pemakaman. Sekarang hal itu sudah tak perlu dikhawatirkan lagi. Selama inipun orang tetap menyebutnya kuburan Cina. Sayang sekali dalam literatur mengenai
Asep Suryana, 01 Mei 2008
wuah, ulu belum pernah ke cikadut itu. jadi pengen ah. sipsip. nuhun inpona, kang Asep hehehe
BalasHapusNuhun Neng Nurul parantos ngalongok ka blog sim kuring
BalasHapusada cerita mistisnya gak?
BalasHapussoalnya sering denger. .
Rasanya tidak serem, kalau siang enjoy saja. malampun kalau cahaya bulan ada, indah rasanya. Paling ditanya Hansip apa tujuannya malam-malam ada di kuburan. Dulu waktu saya masih SD dengar sih cerita orang yg bertugas membakar mayat tangannya "merengkel" maklum saat itu membakarnya masih pakai kayu bakar.
BalasHapusSetahu saya juga tdk seram Kang...soalnya saya pernah lewat bada isya malah banyak yg pacaran sambil menatap Bandung di malam hari...asyik2 aja tuh..
BalasHapusNuhun kang tulisannya.
Ani Rusliani
wah bagus blognya kang asep, rupanya pekuburan Cina di Bandung masi lebih teratur daripada di Bogor
BalasHapus@handelstraat: Yang di bandung pun semakin tak teratur saking padatnya/ Terima kasih telah berkunjung. Salam kenal
BalasHapusJadi kepengen juga ah jalan 2 ke Cikadut nya, kata orang sih " Taman Hongkong "
BalasHapus@kkswargi: terima kasih telah berkunjung ke blog ini. Tentang ini bisa dibaca juga tulisan teman-teman Komunitas Aleut yg berkunjung ke sana tgl 14-11-2010 di http://aleut.wordpress.com
BalasHapusnuhun kang asep informasina
BalasHapusabi ayeuna jadi apal tempat tempat di KC teh (kuburan cina)
abi oge osok ameng keneh da di daerah legok anu ceuk kang asep aya balong.. :)
ayeuna mah kang lapang nu miring teh tos janten rumah warga...lapang teh jadi sempit kang komo jamaras mah tos pinuh ku rumah warga...
nuhun kang..
Sawangsulna. Sim kuring kapungkur nuju alit oge di Jamaras RT 01 (komplek)
BalasHapuskeren kang..padahal orang tua saya juga tinggal d ujung berung deket kan k cikadut tp saya baru 1x aja ke cikadut pas kremasi org tua relasi saya..
BalasHapuskang asep abdi oge ti tahun 1986 di cikadut...cerita literatur kang asep mengingatkan saya sewaktu sd juga kang..saya dulu di SDN CIKADUT V ..
BalasHapusSareng saha nami te? Kapungkur mah mung dugi ka IV, SD Cikadut teh. Saya lihat banyak kuburan yang sudah jadi permukiman. Saya lagi mencari info tentang perangan melawan Belanda di kuburan Cikadut sewaktu revolusi fisik.
BalasHapussaha n bde k cikadut yeh
BalasHapustah eta bro bkit ckadut teh
BalasHapusah manya naha abimah te apal.
BalasHapusTerima kasih infonya 'Kang Asep Suryana... bagus dan lengkap buat saya. Saya dulu tinggal di Bandung, daerah Muararajeun. Kalau naik atap genting melihat ke timur.. yang terlihat jelas bong koneng...
BalasHapusTerima kasih kembali. Bong Koneng sampai sekarang asih terawat, karena dijaga tiap hari. Secara umum Taman Pemakaman Cikadut tidak terawat. Ada perusakan (pencurian) pagar besi atau keturunannya sudah tidak ada lagi yang memerhatikan makam leluhurnya.
BalasHapusaduuh meni waas kang. mengingat masa kecil emang paling indah nya kang. Eta ari kupat tahu mang Iyat masih aya kang? waas artos salawe kenging kupat tahu. mun ngemut ngemut kapengker waktos budak sok hayang ngumpul deui jeung babaturan sapantaran. sok mangga di lajeng kang....
BalasHapusHatur nuhun parantos sumping kana ieu blog. Sareng saha?
HapusBagus sekali tulisanyaa mas asep,jadi pengen maen ksana
BalasHapusTerima kasih Kang Bahrul telah berkunjung. Kondisinya sekarang tak seindah dulu. Generasi kesekian, keturunan dari yang meninggal mungkin sudah kurang memperhatikan makam leluhurnya. Jadi kebanyakan tampak kusam tidak terawat. Kalau sekarang keluarga yang meninggal mungkin akan memilih San Diego Hill atau Al Azhar Memorial Park di Karawang.
HapusMantap blog na kang asep., alhamdulilah saya jadi semakin bangga jadi warga cikadut, bumi abdi di babakan kang. tah permainan anu saya paling resep pas nuju SD pernah maen rorodaan di jalan leutik anu caket sumur mata air. aduh jadi nineung nuju jaman bareto :D pokokna is the best lah.. hihihihiii
BalasHapusHatur nuhun. Nu di nu handap mah seueur kuburan nu jaradi bumi gening. Sababaraha kali nganteur komunitas atanapi tamu nu hoyong terang TP Cikadut. Upami dikaji aya sababara hal anu tumali ka sajarah perkembangan Kota Bandung.
HapusAri di Sekebiru masih keneh aya situ? Tangkal biru na aya keneh?
asiiik
BalasHapusTeu asiik ah anonim mah. Saha atuh jenengan teh?
HapusKang asep nuhuh artikel na..diantos kang asep bade ngaguar riwayat jamarastu kapungkur na kumaha..nuhun
BalasHapusTerima kasih.
BalasHapusManawi aya waktos urang serat mangsa kuring keur leutik di Jamaras. Dina peta Walanda awal abad 20 nami kampung Jamaras tos aya. Kumaha atuh da bade nyerat teh pabaliut sareng hoream pangpangna mah.
BalasHapus