Sudah
hampir empat bulan tidak ikut kegiatan Komunitas Aleut, komunitas
apresiasi wisata dan sejarah. Akhirnya pada hari Minggu tanggal 18
Desember 2011 saya mempunyai kesempatan “ngaleut” kembali. Kali ini
objek yang dikunjungi adalah bekas stasiun pemancar gelombang radio
Malabar. Berkat stasiun ini pertama kalinya komunikasi jarak jauh antara
Eropa-Indonesia terjadi.
Reruntuhan stasiun pemancar
gelombang radio Malabar dapat dilihat di kawasan Gunung Puntang 30 km
dari Bandung ke arah Pangalengan, selanjutnya kita sebut Radio Malabar.
Pada era tahun 1920-an Radio Malabar merupakan sebuah karya yang sangat
fenomenal dalam telekomunikasi nirkabel awal abad ke-20. Sebuah artikel
yang membahas secara komprehensif tentang Radio Malabar terdapat dalam
sebuah buletin berbahasa Jerman “Telefunken-Zeitung” tahun 1925 sebanyak
16 halaman dan buku "Radio Malabar, Herinneringen aan een boeiende tijd
1914-1945" yang berasal dari catatan tulisan tangan Klaas Dijkstra yang
pernah bekerja di sana. Radio Malabar didirikan untuk komunikasi
telefon dan telegrafi antara Hindia Belanda (kini Indonesia) dengan
negeri Belanda. Sedangkan stasiun penerima gelombang radio di antaranya
terdapat di Rancaekek dan Padalarang.

Gambar atas, Radio Malabar (Telefunken-Zeitung, Oktober-1925)
Gambar bawah, puing Radio Malabar, Desember 2011)
Proyek
pembangunan Radio Malabar dipimpin oleh Dr. Ir. G.J. de Groot dengan
melakukan percobaan sejak 1916. Kementerian Urusan Negeri-negeri Jajahan
di Hague Belanda membeli dua pesawat pemancar buatan Telefunken-Jerman
(daya pancar 400 kW). Satu dipasang di Kootwijk Belanda dan satunya lagi
untuk dipasang di Radio Malabar. Hingga peresmian Radio Malabar tanggal
5 Mei 1923 Dr. de Groot bersikeras untuk menggunakan pesawat pemancar
atau transmiter Poulsen (2400 kW) buatan Amerika. Sayang pada uji coba
pertama mengirim pesan kepada Ratu Wilhelmina, gagal. Pesawat Telefunken
yang sudah dibeli pada akhirnya terpasang juga di Malabar.
Antena
untuk memancarkan gelombang dipasang di antara lereng Puntang-Malabar
dan Halimun. Panjang kawat antena mencapai 2 km dan tinggi dari
permukaan tanah bervariasi 480-800 meter. Gedung utama yang berisi
peralatan yang dibutuhkan untuk membangkitkan dan mengirimkan gelombang
radio terdapat di lembah 1250 m di atas permukaan laut. Di sekitarnya
terdapat komplek perumahan yang digunakan oleh para teknisi. Karena
Radio Malabar terletak di kaki gunung dan jauh dari keramaian, maka
dilengkapi pula sarana olah raga seperti lapangan tennis dan untuk
hiburan sebuah bioskop. Pemandangan di sekitar Radio Malabar dalam
potret-potret dulu maupun sekarang indah sekali. Sayangnya teknologi
yang digunakan menurut ukuran sekarang sangat boros energi, selain dari
PLTA mikro Ci Geureuh, dibutuhkan pula pasokan listrik dari beberapa
pembangkit listrik di sekitar Bandung.

Gambar kiri atas, peta pembangkit listrik di Bandung ketika Radio Malabar berdiri
Gambar kanan atas, situasi panjang kawat antena busur (2 km) yang mengarah ke negeri Belanda
Gambar kanan tengah, Radio Malabar dilihat dari arah Ci Geureuh.
Gambar kiri tengah, situasi ruang mesin pemancar
Gambar kanan bawah, ruangan pembangkit listrik tenaga uap (dampfkraftwerk) Dayeuhkolot
Gambar kanan bawah, peta kedudukan stasiun-stasiun radio di Bandung
(sumber Telefunken Zeitung Nr. 40/41 Oktober 1925)
Berkat
usaha keras tim yang dipimpin Dr. de Groot, maka sejak 1927 komunikasi
nirkabel jarak jauh antara Hindia Belanda dengan negeri Belanda menjadi
lancar. Dr. de Groot meninggal pada tanggal 1 Agustus 1927. Atas
jasa-jasanya, walikota Bandung B. Coops mengabadikan namanya menjadi
nama jalan “de Grootweg”, sekarang Jalan Siliwangi. Kemudian walikota
juga memerintahkan pembuatan monumen telekomunikasi. Monumen dirancang
oleh Prof. C.P. Wolff Schoemaker berupa bola dunia beserta patung dua
orang laki-laki laki-laki bugil yang sedang melakukan komunikasi. Letak
monumen di Tjitaroem Plein, sekarang menjadi Mesjid Istiqamah. Pada masa
pendudukan Jepang monumen tersebut dihancurkan.

Gambar kiri atas, Lazarus Potcognak orang Ceko sedang melakukan supervisi instalasi koil magnetik
Gambar kanan atas, memasang koil magnetik bagian atas, nampak tulisan POULSEN sebelah kanan
Gambar tengah, KlaasDijkstra bersama tiga karyawan di dekat transmiter Poulsen (9 July 1923)
Gambar kiri bawah, ruang dalam Stasiun Radio Dayeuhkolot (1938)
Gambarkanan bawah, transmiter Telefunken di Radio Kootwijk (1927)
(Koleksi keluarga Klaas Dijkstra. K. Dijkstra adalah teknisi yang pernah bertugas di Radio Malabar)
Di
dekat bekas komplek perumahan karyawan (Kampung Radio – Radio Dorf)
terdapat sebuah goa yang menembus sebuah bukit. Ketika ditelusuri
jalurnya seperti angka empat. Papan penunjuk menyebutkan Goa Belanda.
Kemungkinan dibangun menjelang Perang Pasifik sebagai tempat
perlindungan.
Ketika Jepang menjajah Indonesia,
teknisi-teknisi Belanda ada yang pergi meninggalkan Indonesia dan ada
pula yang ditangkap Jepang. Saya belum menemukan keterangan yang memadai
bagaimana Radio Malabar pada masa penjajahan Jepang. Sedangkan pada
masa revolusi fisik Radio Malabar diputuskan untuk dihancurkan, karena
khawatir digunakan kembali oleh pihak Belanda. Perintah penghancuran
diterima dari komandan resimen Mayor Daan Yahya kepada beberapa anggota
Angkatan Muda PTT (Jawatan Pos, Telefon, dan Telegraf – dahulu Staatsbedrijf der
Posterijen Telegrafie en Telefonie) yang menjaga Radio Malabar.
Penghancuran terjadi di seputar Peristiwa Bandung Lautan Api 24 Maret
1946. Akan halnya peralatan di Radio Malabar yang penting dipindahkan ke
stasiun penerima Dayeuhkolot dan Rancaekek. Kemudian ada juga pemancar
yang dikirim ke Delangu, Solo. Saya kira yang dikirim ke Delangu adalah
peralatan utama dan akan sangat membantu pemerintah pusat NKRI yang
sudah pindah dari Jakarta ke Yogyakarta sejak tanggal 6 Januari 1946.
Tidak mungkin peralatan utama dikirim ke Stasiun Dayeuhkolot, karena
jaraknya dekat dengan kedudukan tentara Belanda di Kota Bandung.
Akan
halnya “rekan kerja” Radio Malabar di Belanda yaitu Radio Kootwijk
pendiriannya dimulai tahun 1918 oleh arsitek Julius Maria Luthman. Pada
akhir perang Dunia II tentara pendudukan Jerman menghancurkan gedung
pemancar ini. Setelah perang selesai bagain yang rusak diperbaiki
kembali. Dari keterangan yang diperoleh dari situs internet Radio
Kootwijk, sekira akhir 1920-an setelah komunikasi lancar biaya
pembicaraan telefon dari negeri Belanda ke Jawa sebesar 33 Gulden untuk 3
menit pertama. Jika diasumsikan biayanya pembicaraan telefon juga sama
dari Jawa ke Belanda, maka seberapa mahal atau murahnya biaya
pembicaraan tersebut? Dari data statistik tahun 1927 harga beras di Jawa
per kuintal adalah F 139,7. Dengan demikian pembicaraan telefon selama 3
menit setara dengan 23 kg beras.

Gambar kiri, foto Radio Kootwijk tahun 1922
Gambar kanan, Radio Kootwijk sekarang
(sumber Wikipedia)
Pada saat itu ungkapan "Hallo Bandoeng, hier Den Haag" sering terdengar. Peristiwa ini mengilhami Willy Derby tahun 1929 menggubah lagu “Hallo Bandoeng”. Lagu ini mengisahkan seorang wanita tua di Belanda yang berbicara dengan anak laki-lakinya yang berada di seberang lautan....Hindia Belanda, dan untuk pertama kali mendengar suara cucunya.

Gambar atas, “kolam asmara” di depan Radio Malabar, awalnya kolam ini berbentuk hati
Gambar kiri tengah, puing-puing rumah karyawan di Kampung Radio
Gambar kanan tengah, goa dekat Kampung Radio
Gambar kiri bawah, Aleut bermain air di Ci Geureuh
Gambar kanan bawah, foto keluarga merupakan acara wajib di setiap kegiatan
Referensi:
Creutzberg, Pieter & Laanen, J.T.M van (ed.), Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, 1987.
Doetsch, Carl W. Die Grosstation Malabar Radio Auf Java, Telefunken Zeitung Nr. 40/41 Oktober 1925 hal. 14-29.
Kunto, Haryoto. Semerbak Bunga di Bandung Raya, Granesia, 1986
Suganda, Her. Jendela Bandung, pengalaman bersama Kompas, Kompas Media Nusantara, 2007.
http://radiokootwijk.free.fr
http://en.wikipedia.org/wiki/Radio_Kootwijk
http://www.cdvandt.org/dijkstra_-_malabar.htm
kalo boleh tau mencari sumber nya dimana yaa?
BalasHapusSudah di facebook ya.
Hapus