Adsense

Selasa, 27 Desember 2011

Radio Malabar

Sudah hampir empat bulan tidak ikut kegiatan Komunitas Aleut, komunitas apresiasi wisata dan sejarah. Akhirnya pada hari Minggu tanggal 18 Desember 2011 saya mempunyai kesempatan “ngaleut” kembali. Kali ini objek yang dikunjungi adalah bekas stasiun pemancar gelombang radio Malabar. Berkat stasiun ini pertama kalinya komunikasi jarak jauh antara Eropa-Indonesia terjadi.

Reruntuhan stasiun pemancar gelombang radio Malabar dapat dilihat di kawasan Gunung Puntang 30 km dari Bandung ke arah Pangalengan, selanjutnya kita sebut Radio Malabar. Pada era tahun 1920-an Radio Malabar merupakan sebuah karya yang sangat fenomenal dalam telekomunikasi nirkabel awal abad ke-20. Sebuah artikel yang membahas secara komprehensif  tentang Radio Malabar terdapat dalam sebuah buletin berbahasa Jerman “Telefunken-Zeitung” tahun 1925 sebanyak 16 halaman dan buku "Radio Malabar, Herinneringen aan een boeiende tijd 1914-1945" yang berasal dari catatan tulisan tangan Klaas Dijkstra yang pernah bekerja di sana. Radio Malabar didirikan untuk komunikasi telefon dan telegrafi antara Hindia Belanda (kini Indonesia) dengan negeri Belanda. Sedangkan stasiun penerima gelombang radio di antaranya terdapat di Rancaekek dan Padalarang.
Gambar atas, Radio Malabar  (Telefunken-Zeitung, Oktober-1925)
Gambar bawah, puing Radio Malabar, Desember 2011)

Proyek pembangunan Radio Malabar dipimpin oleh Dr. Ir. G.J. de Groot dengan melakukan percobaan sejak 1916. Kementerian Urusan Negeri-negeri Jajahan di Hague Belanda membeli dua pesawat pemancar buatan Telefunken-Jerman (daya pancar 400 kW). Satu dipasang di Kootwijk Belanda dan satunya lagi untuk dipasang di Radio Malabar. Hingga peresmian Radio Malabar tanggal 5 Mei 1923 Dr. de Groot bersikeras untuk menggunakan pesawat pemancar atau transmiter Poulsen (2400 kW) buatan Amerika. Sayang pada uji coba pertama mengirim pesan kepada Ratu Wilhelmina, gagal. Pesawat Telefunken yang sudah dibeli pada akhirnya terpasang juga di Malabar.

Antena untuk memancarkan gelombang dipasang di antara lereng Puntang-Malabar dan Halimun. Panjang kawat antena mencapai 2 km dan tinggi dari permukaan tanah bervariasi 480-800 meter. Gedung utama yang berisi peralatan yang dibutuhkan untuk membangkitkan dan mengirimkan gelombang radio terdapat di lembah 1250 m di atas permukaan laut. Di sekitarnya terdapat komplek perumahan yang digunakan oleh para teknisi. Karena Radio Malabar terletak di kaki gunung dan jauh dari keramaian, maka dilengkapi pula sarana olah raga seperti lapangan tennis dan untuk hiburan sebuah bioskop. Pemandangan di sekitar Radio Malabar dalam potret-potret dulu maupun sekarang indah sekali. Sayangnya teknologi yang digunakan menurut ukuran sekarang sangat boros energi, selain dari PLTA mikro Ci Geureuh, dibutuhkan pula pasokan listrik dari beberapa pembangkit listrik di sekitar Bandung.
Gambar kiri atas, peta pembangkit listrik di Bandung ketika Radio Malabar berdiri
Gambar kanan atas, situasi panjang kawat antena busur (2 km) yang mengarah ke negeri Belanda
Gambar kanan tengah, Radio Malabar dilihat dari arah Ci Geureuh.
Gambar kiri tengah, situasi ruang mesin pemancar
Gambar kanan bawah, ruangan pembangkit listrik tenaga uap (dampfkraftwerk) Dayeuhkolot
Gambar kanan bawah, peta kedudukan stasiun-stasiun radio di Bandung
(sumber Telefunken Zeitung Nr. 40/41 Oktober 1925) 

Berkat usaha keras tim yang dipimpin Dr. de Groot, maka sejak 1927 komunikasi nirkabel jarak jauh antara Hindia Belanda dengan negeri Belanda menjadi lancar. Dr. de Groot meninggal pada tanggal 1 Agustus  1927. Atas jasa-jasanya, walikota Bandung B. Coops mengabadikan namanya menjadi nama jalan “de Grootweg”, sekarang Jalan Siliwangi. Kemudian walikota juga memerintahkan pembuatan monumen telekomunikasi. Monumen dirancang oleh Prof. C.P. Wolff Schoemaker berupa bola dunia beserta patung dua orang laki-laki laki-laki bugil yang sedang melakukan komunikasi. Letak monumen di Tjitaroem Plein, sekarang menjadi Mesjid Istiqamah. Pada masa pendudukan Jepang monumen tersebut dihancurkan.
Gambar kiri atas, Lazarus Potcognak orang Ceko sedang melakukan supervisi instalasi koil magnetik
Gambar kanan atas, memasang koil magnetik bagian atas, nampak tulisan POULSEN sebelah kanan
Gambar tengah, KlaasDijkstra bersama tiga karyawan di dekat transmiter Poulsen (9 July 1923)
Gambar kiri bawah, ruang dalam Stasiun Radio Dayeuhkolot (1938)
Gambarkanan bawah, transmiter Telefunken di Radio Kootwijk (1927)
(Koleksi keluarga Klaas Dijkstra. K. Dijkstra adalah teknisi yang pernah bertugas di Radio Malabar)

Di dekat bekas komplek perumahan karyawan (Kampung Radio – Radio Dorf) terdapat sebuah goa yang menembus sebuah bukit. Ketika ditelusuri jalurnya seperti angka empat. Papan penunjuk menyebutkan Goa Belanda. Kemungkinan dibangun menjelang Perang Pasifik sebagai tempat perlindungan.

Ketika Jepang menjajah Indonesia, teknisi-teknisi Belanda ada yang pergi meninggalkan Indonesia dan ada pula yang ditangkap Jepang. Saya belum menemukan keterangan yang memadai bagaimana Radio Malabar pada masa penjajahan Jepang. Sedangkan pada masa revolusi fisik Radio Malabar diputuskan untuk dihancurkan, karena khawatir digunakan kembali oleh pihak Belanda. Perintah penghancuran diterima dari komandan resimen Mayor Daan Yahya kepada beberapa anggota Angkatan Muda PTT (Jawatan Pos, Telefon, dan Telegraf – dahulu Staatsbedrijf der Posterijen Telegrafie en Telefonie) yang menjaga Radio Malabar. Penghancuran terjadi di seputar Peristiwa Bandung Lautan Api 24 Maret 1946. Akan halnya peralatan di Radio Malabar yang penting dipindahkan ke stasiun penerima Dayeuhkolot dan Rancaekek. Kemudian ada juga pemancar yang dikirim ke Delangu,  Solo. Saya kira yang dikirim ke Delangu adalah peralatan utama dan akan sangat membantu pemerintah pusat NKRI  yang sudah pindah  dari Jakarta ke Yogyakarta sejak tanggal 6 Januari 1946. Tidak mungkin peralatan utama dikirim ke Stasiun Dayeuhkolot, karena jaraknya dekat dengan kedudukan tentara Belanda di Kota Bandung.

Akan halnya “rekan kerja” Radio Malabar  di Belanda yaitu Radio Kootwijk pendiriannya dimulai tahun 1918 oleh arsitek Julius Maria Luthman. Pada akhir perang Dunia II tentara pendudukan Jerman menghancurkan gedung pemancar ini. Setelah perang selesai bagain yang rusak diperbaiki kembali. Dari keterangan yang diperoleh dari situs internet Radio Kootwijk, sekira akhir 1920-an setelah komunikasi lancar biaya pembicaraan telefon dari negeri Belanda ke Jawa sebesar 33 Gulden untuk 3 menit pertama. Jika diasumsikan biayanya pembicaraan telefon juga sama dari Jawa ke Belanda, maka seberapa mahal atau murahnya biaya pembicaraan tersebut? Dari data statistik tahun 1927 harga beras di Jawa per kuintal adalah F 139,7. Dengan demikian pembicaraan telefon selama 3 menit setara dengan 23 kg beras.
Gambar kiri, foto Radio Kootwijk tahun 1922
Gambar kanan, Radio Kootwijk sekarang
(sumber Wikipedia)

Pada saat itu ungkapan "Hallo Bandoeng, hier Den Haag" sering terdengar. Peristiwa ini mengilhami Willy Derby tahun 1929 menggubah lagu “Hallo Bandoeng”. Lagu ini mengisahkan seorang wanita tua di Belanda yang berbicara dengan anak laki-lakinya yang berada di seberang lautan....Hindia Belanda, dan untuk pertama kali mendengar suara cucunya.
Gambar atas, “kolam asmara” di depan Radio Malabar, awalnya kolam ini berbentuk hati
Gambar kiri tengah, puing-puing rumah karyawan di Kampung Radio
Gambar kanan tengah, goa dekat Kampung Radio
Gambar kiri bawah, Aleut bermain air di Ci Geureuh
Gambar kanan bawah, foto keluarga merupakan acara wajib di setiap kegiatan

Referensi:
Creutzberg, Pieter & Laanen, J.T.M van (ed.), Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, 1987.

Doetsch, Carl W. Die Grosstation Malabar Radio Auf Java, Telefunken Zeitung Nr. 40/41 Oktober 1925 hal. 14-29.

Kunto, Haryoto. Semerbak Bunga di Bandung Raya, Granesia, 1986

Suganda, Her. Jendela Bandung, pengalaman bersama Kompas, Kompas Media Nusantara, 2007.

http://radiokootwijk.free.fr
http://en.wikipedia.org/wiki/Radio_Kootwijk
http://www.cdvandt.org/dijkstra_-_malabar.htm

2 komentar: